⚐ Apakah kamu tahu jawabannya ?
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meninjau lokasi bom bunuh diri yang diduga dilakukan jaringan teroris di Gereja Katedral, Makasar, Sulawesi Selatan, Kamis (1/4/2021).
Azis juga mendatangi Rumah Sakit Bhayangkara dan memberikan semangat serta membantu sejumlah dana ke keluarga korban luka Cosmas Balalembang, juru parkir di Gereja Katedral.
"Saya berpesan kepada pimpinan gereja dan jemaat untuk tidak takut dalam melakukan kegiatan ibadah, karena aparat keamanan akan melakukan penjagaan dan menjamin keamanan keselamatan para Jemaat," kata Azis melalui keterangannya, Jumat (2/4/2021).
Azis menyampaikan prihatin dan duka serta menaruh simpati dan empati kepada pihak Gereja dan para jemaat gereja Katedral di Makasar dan berharap peristiwa ini tidak terulang kembali.
"Selamat menjalakan serangkaian ibadah bagi para jemaat Gereja Katedral dalam merayakan hari Paskah. Semoga di hari kebangkitan Isa Almasih kedamaian dapat menyertai seluruh umat kristiani dan aparat keamanan untuk dapat menjaga lingkungan gereja di seluruh indonesia terkhusus di wilayah Makasar," ujarnya.
"Peristiwa ini dapat dijadikan momentum untuk dapat melakukan instropeksi serta menjadi langkah awal untuk meningkatkan kewaspadaan serta sinergitas dengan masyarakat untuk saling menjaga diri dari tindak pidana terorisme yang dapat menghancurkan kesatuan dan persatuan bangsa," ujarnya.
Azis menambahkan ancaman kedaulatan negara dan terorisme saat ini bersifat non-militer, seperti radikalisme, narkoba dan cyber.
Karenanya sistem keamanan dan pertahanan yang dilakukan pemerintah harus menempatkan seluruh lapisan dan stakeholder terkait.
Caption: Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meninjau secara langsung lokasi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan teroris di Gereja Katedral, Makasar, Sulawesi Selatan / istimewa
Bunuh diri (sering disingkat sebagai bundir[1]) adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian pada diri sendiri. Bunuh diri sering kali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol, atau penyalahgunaan obat.[2] Faktor-faktor penyebab stres antara lain kesulitan keuangan atau masalah dalam hubungan intrapribadi sering kali ikut berperan. Upaya untuk mencegah bunuh diri antara lain adalah dengan pembatasan akses terhadap senjata api, merawat penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat, serta meningkatkan kondisi ekonomi.
Terdapat bermacam-macam metode yang paling sering digunakan untuk bunuh diri di berbagai negara dan sebagian terkait dengan keberadaan metode tersebut. Metode yang umum antara lain: gantung diri, racun serangga, dan senjata api. Sekitar 800.000 hingga satu juta orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, sehingga bunuh diri menduduki posisi ke-10 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia.[2] Angka bunuh diri tercatat lebih banyak dilakukan oleh pria ketimbang wanita, dengan kemungkinan tiga sampai empat kali lebih besar seorang pria melakukan bunuh diri dibandingkan wanita.[3] Tercatat ada sekitar 10 hingga 20 juta kasus percobaan bunuh diri yang gagal setiap tahun.[4] Percobaan bunuh diri semacam ini lebih sering dilakukan remaja dan wanita.
Cara pandang terhadap bunuh diri selama ini dipengaruhi oleh konsep eksistensi yang luas seperti agama, kehormatan, dan makna hidup. Agama Abrahamik secara tradisional menganggap bunuh diri sebagai perbuatan dosa karena kepercayaan bahwa kehidupan itu suci. Selama era samurai di Jepang, seppuku dijunjung tinggi sebagai sarana pertobatan akibat kegagalan atau sebagai bentuk protes. Sati, sebuah praktik pemakaman dalam agama Hindu yang mengharuskan janda untuk melakukan pengorbanan diri di atas api pembakaran jenazah suaminya, baik atas keinginan sendiri maupun didesak oleh keluarga dan masyarakat.[5]
Dahulu di kebanyakan negara barat, bunuh diri maupun percobaan bunuh diri merupakan tindakan kriminal yang bisa membuat seseorang dihukum, namun sekarang hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi. Namun di kebanyakan negara Islam, tindakan ini masih dianggap melanggar hukum. Pada abad ke-20 dan ke-21, bunuh diri dalam bentuk pengorbanan diri digunakan sebagai sarana protes, dan kamikaze serta bom bunuh diri digunakan sebagai taktik militer atau terorisme.[6]
Bunuh diri, yang juga disebut sebagai bunuh diri berhasil, adalah "tindakan mengambil nyawa diri sendiri".[7] Percobaan bunuh diri atau perilaku bunuh diri yang tidak fatal adalah perbuatan melukai diri sendiri dengan maksud untuk mengakhiri nyawa seseorang namun tidak berakhir dengan kematian.[8] Bunuh diri dengan bantuan adalah ketika seseorang membantu orang lain mengakhiri nyawanya secara tidak langsung melalui pemberian saran atau sarana sampai kematian terjadi.[9] Bunuh diri semacam ini merupakan kebalikan dari euthanasia ketika orang lain lebih memiliki peran aktif dalam mendatangkan kematian bagi seseorang.[9] Ide bunuh diri adalah pemikiran untuk mengakhiri hidup seseorang.[8]
Faktor-faktor yang memengaruhi risiko bunuh diri antara lain gangguan jiwa, penyalahgunaan obat, kondisi psikologis, budaya, kondisi keluarga dan masyarakat, dan genetik.[11] Penyakit jiwa dan penyalahgunaan zat biasanya saling berkaitan.[12] Faktor risiko lain termasuk pernah melakukan percobaan bunuh diri,[13] adanya sarana yang tersedia untuk melakukan tindakan tersebut, peristiwa bunuh diri dalam sejarah keluarga, atau adanya luka trauma otak.[14] Contohnya, angka bunuh diri di keluarga yang memiliki senjata api jumlahnya lebih besar daripada di keluarga yang tidak memilikinya.[15] Faktor sosial ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan diskriminasi dapat mendorong pemikiran untuk melakukan bunuh diri.[16] Sekitar 15-40% pelaku meninggalkan sebuah pesan bunuh diri.[17] Faktor genetik sepertinya bertanggung jawab terhadap perilaku bunuh diri sebesar 38% hingga 55%.[18] Veteran perang memiliki risiko lebih besar untuk melakukan bunuh diri yang sebagian disebabkan oleh tingginya angka penyakit jiwa dan masalah kesehatan fisik yang terkait perang.[19]
Gangguan jiwa sering kali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh diri dengan angka kejadian berkisar antara 27%[20] hingga lebih dari 90%.[13] Orang yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh diri yang berhasil sebesar 8.6% selama hidupnya.[13] Sebagian dari orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan depresi mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari gangguan keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi, hingga mencapai 20 kali lipat, untuk melakukan bunuh diri.[21] Kondisi lain yang turut terlibat adalah skizofrenia (14%), gangguan kepribadian (14%),[22] gangguan bipolar,[21] dan gangguan stres pasca-trauma.[13] Sekitar 5% pengidap skizofrenia mati karena bunuh diri.[23] Gangguan makan juga merupakan kondisi berisiko tinggi lainnya.[24]
Riwayat percobaan bunuh diri pada masa lalu merupakan alat prediksi terbaik terjadinya tindakan bunuh diri yang akhirnya berhasil.[13] Kira-kira 20% bunuh diri menunjukkan adanya riwayat percobaan pada masa lampau. Lalu, dari sekian yang pernah mencoba melakukan bunuh diri memiliki peluang sebesar 1% untuk melakukan bunuh diri yang berhasil dalam tempo satu tahun kemudian[13] dan lebih dari 5% melakukan bunuh diri setelah 10 tahun.[24] Meskipun tindakan melukai diri sendiri bukan merupakan percobaan bunuh diri, namun adanya perilaku suka melukai diri sendiri tersebut meningkatkan risiko bunuh diri.[25]
Dari kasus bunuh diri yang berhasil, sekitar 80% individu yang melakukannya telah menemui dokter selama setahun sebelum kematian,[26] termasuk 45% di antaranya yang menemui dokter dalam satu bulan sebelum kematian.[27] Sekitar 25–40% orang yang berhasil melakukan bunuh diri pernah menghubungi layanan kesehatan jiwa pada tahun sebelumnya.[20][26]
Penyalahgunaan obat adalah faktor risiko bunuh diri paling umum kedua setelah depresi mayor dan gangguan bipolar.[28] Baik penyalahgunaan obat kronis maupun kecanduan akut saling berhubungan satu sama lain.[12][29] Bila digabungkan dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan seseorang yang meninggal, risiko tersebut semakin meningkat.[29] Selain itu, penyalahgunaan obat berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa.[12] Saat melakukan bunuh diri, kebanyakan orang berada dalam pengaruh obat sedatif-hipnotik (misalnya alkohol atau benzodiazepine)[30] dengan adanya alkoholisme pada sekitar 15% sampai 61% kasus.[12] Negara-negara dengan angka penggunaan alkohol tinggi dan memiliki jumlah bar lebih banyak secara umum juga memiliki risiko terjadinya bunuh diri lebih tinggi[31] yang keterkaitannya terutama berhubungan dengan penggunaan minuman beralkohol hasil distilasi ketimbang jumlah total alkohol yang digunakan.[12] Sekitar 2.2–3.4% dari mereka yang pernah dirawat karena menderita alkoholisme pada suatu waktu dalam kehidupan mereka meninggal dengan cara bunuh diri.[31] Pecandu alkohol yang melakukan percobaan bunuh diri biasanya pria, dalam usia tua, dan pernah melakukan percobaan bunuh diri pada masa lampau.[12] Antara 3 hingga 35% kematian pada kelompok pemakai heroin diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak memakai heroin).[32] Penyalahgunaan kokain dan methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap bunuh diri.[12][33] Mereka yang menggunakan kokain memiliki risiko terbesar saat berada dalam fase sakaw.[34] Mereka yang menggunakan inhalansia juga memiliki risiko besar dengan sekitar 20% di antaranya mencoba melakukan bunuh diri pada suatu waktu dan lebih dari 65% pernah berpikir untuk melakukannya.[12] Merokok memiliki keterkaitan dengan risiko bunuh diri.[35] Tidak ada bukti yang cukup kuat mengapa ada keterkaitan tersebut; namun hipotesis menyatakan bahwa mereka yang memiliki kecenderungan merokok juga memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, bahwa merokok menyebabkan masalah kesehatan sehingga mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya, dan bahwa merokok mempengaruhi kimia otak hingga menyebabkan kecenderungan bunuh diri.[35] Meski demikian, Ganja/Cannabis sepertinya tidak secara tunggal menyebabkan peningkatan risiko.[12]
Masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya keinginan bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan dengan populasi umum.[36] Antara 12 dan 24% pejudi patologis berusaha bunuh diri.[37] Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih besar daripada populasi umum.[37] Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka dengan masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan narkoba.[38]
Terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik, mencakup:[24] sakit kronis,[39] cedera otak traumatis,[40] kanker,[41] mereka yang menjalani hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya.[24] Diagnosis kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat.[41] Angka kejadian bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan penyakit depresi dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih dari satu kondisi medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan termasuk dalam daftar utama diperbolehkannya bunuh diri.[42]
Gangguan tidur seperti insomnia[43] dan apnea tidur merupakan faktor risiko mengalami depresi dan melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus, gangguan tidur mungkin menjadi faktor risiko independen timbulnya depresi.[44] Sejumlah kondisi medis lainnya mungkin disertai gejala yang mirip dengan gangguan suasana hati, termasuk: hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus eritematosus sistemik, dan efek samping dari sejumlah obat (seperti beta blocker dan steroid).[13]
Sejumlah keadaan psikologis juga meningkatkan risiko bunuh diri, meliputi: keputusasaan, hilangnya kesenangan dalam hidup, depresi dan kecemasan.[21] Kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah, hilangnya kemampuan seseorang yang dahulu dimilikinya, dan kurangnya pengendalian impuls juga berperan.[21][45] Pada orang dewasa lanjut usia, persepsi tentang menjadi beban bagi orang lain merupakan hal yang penting.[46][46]
Stres kehidupan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir seperti kehilangan anggota keluarga atau teman, kehilangan pekerjaan, atau isolasi sosial (seperti hidup sendiri) meningkatkan risiko tersebut.[21] Orang yang tidak pernah menikah juga berisiko lebih besar.[13] Bersikap religius dapat mengurangi risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri.[47] Hal ini dikaitkan dengan pandangan negatif sebagian besar agama yang menentang perbuatan bunuh diri dan dengan lebih besarnya rasa keterikatan yang bisa diberikan oleh agama.[47] Muslim, di antara umat beragama, tampaknya memiliki tingkat yang lebih rendah.[48]
Sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri untuk melarikan diri dari intimidasi atau tuduhan.[49] Riwayat pelecehan seksual[50] pada masa kecil dan dan saat menjadi anak asuh juga merupakan faktor risiko.[51] Pelecehan seksual diyakini memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan risiko.[18]
evolusioner menjelaskan bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan kemampuan inklusif. Hal ini dapat terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak dapat lagi memiliki anak dan mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap bertahan hidup. Hal yang tidak dapat disetujui adalah bahwa kematian pada remaja yang sehat tidak menyebabkan terjadinya kemampuan inklusif. Proses adaptasi terhadap lingkungan adat nenek moyang yang sangat berbeda mungkin menjadi proses yang maladaptif dalam kondisi saat ini.[45][52]
Kemiskinan dikaitkan dengan risiko bunuh diri.[53] Meningkatnya kemiskinan relatif seseorang yang dibandingkan dengan orang yang ada di sekitarnya dapat meningkatkan risiko bunuh diri.[54] Lebih dari 200.000 petani di India telah melakukan bunuh diri sejak tahun 1997, yang sebagian karena persoalan utang.[55] Di Cina, kemungkinan peristiwa bunuh diri terjadi tiga kali lipat di daerah pedesaan di pinggiran kota, yang diyakini akibat kesulitan keuangan di area ini di negara tersebut.[56]
Media, termasuk internet, memainkan peranan penting.[11] Caranya menyajikan gambaran bunuh diri mungkin saja memiliki efek negatif dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan berulang yang mengagungkan atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak terbesar.[57] Bila digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan menggunakan cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam populasi secara keseluruhan.[58]
Pemicu penularan bunuh diri atau peniruan bunuh diri ini dikenal sebagai efek Werther, yang diberi nama berdasarkan tokoh protagonist dalam karya Goethe yang berjudul The Sorrows of Young Werther yang melakukan bunuh diri.[59] Risiko ini lebih besar pada remaja yang mungkin meromantiskan kematian.[60] Sementara media massa memiliki pengaruh yang signifikan, efek dari media hiburan masih tampak samar-samar.[61] Kebalikan dari efek Werther adalah pengusulan efek Papageno, yaitu cakupan yang baik mengenai mekanisme cara mengatasi masalah secara efektif, mungkin memiliki efek perlindungan. Istilah ini didasarkan pada karakter dalam opera Mozart yang berjudul The Magic Flute yang akan melakukan bunuh diri karena takut kehilangan orang yang dicintainya sampai teman-temannya menyelamatkannya.[59] Bila media mengikuti pedoman pelaporan yang sesuai, risiko bunuh diri dapat diturunkan.[57] Namun, kepatuhan dari industri tersebut bisa saja sulit didapatkan terutama dalam jangka panjang.[57]
Bunuh diri rasional adalah tindakan menghilangkan nyawa sendiri yang beralasan,[62] meskipun sejumlah orang merasa bahwa bunuh diri tidak pernah masuk akal.[62] Tindakan menghilangkan nyawa sendiri demi kepentingan orang lain dikenal sebagai bunuh diri altruistik.[63] Contohnya adalah sesepuh yang mengakhiri hidup mereka agar dapat meninggalkan makanan dalam jumlah yang lebih besar bagi orang yang lebih muda dalam masyarakat.[63] Dalam beberapa budaya Eskimo, hal ini dianggap sebagai tindakan yang terhormat, berani, atau bijaksana.[64]
Serangan bunuh diri adalah sebuah tindakan politik di mana seorang penyerang melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain sementara mereka mengerti bahwa hal tersebut akan mengakibatkan kematian mereka sendiri.[65] Beberapa pelaku bom bunuh diri melakukannya dalam upaya untuk mendapatkan kesyahidan.[19] Misi Kamikaze dilakukan sebagai kewajiban terhadap suatu hal yang penting atau tuntutan moral.[64] Bunuh diri-pembunuhan merupakan tindakan pembunuhan yang diikuti oleh tindakan bunuh diri orang yang melakukan perbuatan pembunuhan tersebut dalam kurun waktu satu minggu setelahnya.[66] Bunuh diri massal sering dilakukan di bawah tekanan sosial di mana anggotanya menyerahkan hidupnya kepada seorang pemimpin.[67] Bunuh diri massal dapat berlangsung sedikitnya dua orang, yang sering disebut sebagai kesepakatan bunuh diri.[68]
Dalam situasi yang meringankan di mana melanjutkan hidup akan menjadi sesuatu yang tak tertahankan, beberapa orang memilih bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri.[69] Sejumlah tahanan Nazi di kamp konsentrasi diketahui telah bunuh diri dengan sengaja menyentuh pagar beraliran listrik.[70]
Metode utama bunuh diri berbeda-beda antar negara. Metode utama di berbagai wilayah di antaranya gantung diri, minum racun pestisida, dan senjata api.[71] Perbedaan ini diyakini sebagian karena ketersediaan metode yang berbeda.[58] Sebuah tinjauan pada 56 negara menemukan bahwa gantung diri merupakan metode yang paling umum di sebagian besar negara,[72] dengan angka 53% untuk kasus bunuh diri pada pria dan 39% untuk kasus bunuh diri pada wanita.[73]
Di seluruh dunia, 30% kasus bunuh diri menggunakan racun pestisida. Namun, penggunaan metode ini sangat bervariasi mulai dari 4% di Eropa hingga lebih dari 50% di wilayah Pasifik.[74] Metode tersebut juga umum dilakukan di Amerika Latin mengingat racun pestisida mudah didapat di lingkungan petani.[58] Di banyak negara, overdosis obat tercatat sekitar 60% untuk kasus bunuh diri di kalangan wanita dan 30% di kalangan pria.[75] Banyak tindakan bunuh diri yang tidak direncanakan dan terjadi selama periode ambivalensi yang akut.[58] Angka kematian per metode bervariasi: senjata api 80-90%, tenggelam 65-80%, gantung diri 60-85%, gas buang kendaraan 40-60%, lompat dari tempat yang tinggi 35-60%, gas karbon hasil pembakaran 40-50%, racun pestisida 6-75%, overdosis obat 1,5-4%.[58] Metode percobaan bunuh diri yang paling umum dilakukan berbeda dengan metode bunuh diri yang paling sering berhasil dengan angka mencapai 85% untuk upaya percobaan bunuh diri dengan metode overdosis obat di negara-negara maju.[24]
Di Amerika Serikat, 57% kasus bunuh diri melibatkan penggunaan senjata api sehingga metode ini menjadi agak lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita.[13] Penyebab berikutnya yang paling umum adalah gantung diri pada pria dan meracuni diri sendiri pada wanita.[13] Kedua metode tersebut secara total mencatat angka sekitar 40% dari kasus bunuh diri di AS.[76] Di Swiss, di mana hampir semua orang memiliki senjata api, jumlah terbesar kasus bunuh diri adalah dengan cara gantung diri.[77] Melompat bunuh diri umum terjadi di Hongkong maupun Singapura dengan angka masing-masing 50% dan 80%.[58] Di Cina, meminum racun pestisida adalah metode yang paling umum.[78] Di Jepang, masih terjadi tindakan mengeluarkan isi perut sendiri yang dikenal dengan seppuku atau hara-kiri,[78] namun demikian, gantung diri adalah yang paling umum.[79]
Tidak ada kesamaan faktor patofisiologi yang mendasari terjadinya bunuh diri atau depresi.[13] Meskipun demikian, hal tersebut diyakini merupakan akibat faktor interaksi perilaku, lingkungan sosial dan kejiwaan.[58]
Rendahnya tingkat brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang terkait secara langsung dengan bunuh diri[80] dan secara tidak langsung melalui perannya dalam kejadian depresi berat, gangguan stres pasca trauma, skizofrenia dan gangguan obsesif-kompulsif.[81] Dari studi Bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat BDNF pada hipokampus dan korteks prefrontal, pada orang yang mengalami gangguan kejiwaan maupun yang tidak.[82] Serotonin, sebuah neurotransmitter otak, diyakini rendah tingkatnya pada orang yang bunuh diri. Hal ini sebagian didasarkan pada bukti meningkatnya kadar reseptor 5-HT2A setelah kematian.[83] Bukti lain termasuk berkurangnya tingkat produk turunan serotonin, Asam 5-hidroksiindoleasetat, dalam cairan tulang belakang otak.[84] Namun, bukti langsung cukup sulit dikumpulkan.[83] Epigenetika, studi tentang perubahan dalam ekspresi genetika dalam merespons faktor lingkungan yang tidak mengubah DNA yang mendasarinya, juga diyakini berperan dalam menentukan risiko bunuh diri.[85]
Pencegahan bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk upaya kolektif guna mengurangi insiden bunuh diri melalui tindakan pencegahan. Mengurangi akses ke metode tertentu, seperti senjata api atau racun akan mengurangi risikonya.[58][86] Tindakan lain di antaranya dengan mengurangi akses ke gas karbon dan penghalang di jembatan serta platform kereta bawah tanah.[58] Pengobatan kecanduan narkoba dan alkohol, depresi, dan mereka yang telah mencoba bunuh diri pada masa lalu mungkin juga efektif.[86] Beberapa di antaranya telah mengusulkan pengurangan akses ke alkohol sebagai strategi pencegahan (seperti mengurangi jumlah bar).[12] Walaupun saluran bantuan krisis bersifat umum, terdapat sedikit bukti yang mendukung atau menolak keefektifannya.[87][88] Pada remaja yang akhir-akhir ini berpikir untuk bunuh diri, terapi perilaku kognitif tampaknya dapat bermanfaat untuk memberikan perbaikan.[89] Pembangunan ekonomi melalui kemampuannya untuk mengurangi kemiskinan mungkin dapat menurunkan tingkat bunuh diri.[53] Upaya untuk meningkatkan hubungan sosial terutama pada pria usia lanjut mungkin saja efektif.[90]
Ada sedikit data tentang efek skrining populasi umum terhadap angka tertinggi bunuh diri.[91] Mengingat terdapat angka yang tinggi pada orang yang dinyatakan positif setelah dites melalui alat ini yang tidak berisiko bunuh diri, ada kekhawatiran bahwa skrining bisa meningkatkan pemanfaatan sumber daya perawatan kesehatan mental secara signifikan.[92] Namun, dianjurkan melakukan pengkajian atas orang yang berisiko tinggi.[13] Bertanya tentang bunuh diri tampaknya tidak akan meningkatkan risikonya.[13]
Pada orang yang mengalami masalah kesehatan mental, sejumlah perawatan bisa mengurangi risiko bunuh diri. Mereka yang aktif berusaha bunuh diri bisa didaftarkan dalam rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan kejiwaan baik secara sukarela atau secara paksa.[13] Barang yang bisa digunakan untuk menyakiti diri sendiri biasanya disingkirkan.[24] Beberapa dokter meminta pasiennya untuk menandatangani perjanjian pencegahan bunuh diri di mana mereka sepakat untuk tidak menyakiti diri sendiri setelah keluar dari perawatan.[13] Namun, belum ada bukti yang mendukung bahwa praktik tersebut memiliki efek yang signifikan.[13] Jika pasiennya berisiko rendah, perawatan kesehatan mental pasien secara rawat jalan bisa dilakukan.[24] Rawat inap jangka pendek belum terlihat lebih efektif dari kepedulian masyarakat dalam memperbaiki keadaan pada mereka yang mengalami gangguan kepribadian borderline yang secara kronis berupaya untuk bunuh diri.[93][94]
Terdapat bukti sementara bahwa psikoterapi, khususnya terapi perilaku dialektis, mengurangi risiko bunuh diri pada remaja[95] serta yang mengalami gangguan kepribadian borderline.[96] Namun, belum ada bukti penurunan bunuh diri yang dilakukan.[95]
Muncul kontroversi seputar manfaat dibandingkan bahaya antidepresan.[11] Pada orang-orang muda, antidepresan yang baru seperti SSRI tampaknya meningkatkan risiko bunuh diri dari 25 per 1000 menjadi 40 per 1000.[97] Namun, antidepresan dapat menurunkan risiko bunuh diri pada orang yang lebih tua.[13] Litium tampaknya efektif dalam menurunkan risiko pada mereka yang mengalami gangguan bipolar dan depresi unipolar hingga mendekati tingkat yang sama seperti populasi umum.[98][99]
Sekitar 0,5% hingga 1,4% orang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.[13][101] Secara global, sejak tahun 2008/2009, bunuh diri merupakan penyebab utama kematian kesepuluh[2] dengan sekitar 800.000 hingga satu juta orang meninggal setiap tahunnya, yang berarti angka kematian sebesar 11,6 per 100.000 orang per tahun.[101] Tingkat bunuh diri telah meningkat sebesar 60% dari tahun 1960 sampai 2012,[86] yang peningkatannya terlihat terutama di negara-negara berkembang.[2] Untuk setiap bunuh diri yang menyebabkan kematian, terdapat sekitar 10 hingga 40 percobaan bunuh diri.[13]
Tingkat bunuh diri berbeda secara signifikan antar negara dan dari waktu ke waktu.[101] Persentase kematian pada tahun 2008 yaitu: Afrika 0,5%, Asia Tenggara 1,9%, Amerika 1,2% dan Eropa 1,4%.[101] Untuk tingkat per 100.000: Australia 8,6, Canada 11,1, Cina 12,7, India 23,2, Inggris 7,6, Amerika Serikat 11,4.[102] Bunuh diri berada dalam peringkat 10 teratas untuk penyebab kematian di Amerika Serikat pada tahun 2009 dengan sekitar 36.000 kasus setahun.[103] Dan sekitar 650.000 orang masuk ke unit gawat darurat setiap tahun karena mencoba bunuh diri.[13] Lituania, Jepang dan Hungaria memiliki angka tertinggi.[101] Negara-negara dengan jumlah mutlak kasus bunuh diri terbesar adalah Cina dan India yang jumlahnya lebih dari setengah jumlah total.[101] Di Cina, bunuh diri merupakan penyebab utama kematian ke-5.[104]
Angka bunuh diri per 100,000 pria (kanan) dan wanita (kiri) (data dari 1978–2008).
Di dunia Barat, pria meninggal sebanyak tiga sampai empat kali lebih banyak dengan cara bunuh diri dibanding wanita, meskipun wanita mencoba bunuh diri empat kali lebih banyak.[13][101] Hal ini dikaitkan dengan pria yang menggunakan cara yang lebih mematikan untuk mengakhiri hidupnya.[105] Perbedaan ini bahkan lebih menonjol pada orang yang berusia di atas usia 65, dengan jumlah pria yang melakukan bunuh diri sepuluh kali lipat lebih banyak dibanding wanita.[105] Tiongkok memiliki salah satu tingkat bunuh diri wanita tertinggi di dunia dan merupakan satu-satunya negara yang tingkatnya lebih tinggi dari laki-laki (rasio 0,9).[101][104] Di wilayah Mediterania Timur, tingkat bunuh diri hampir setara antara pria dan wanita.[101] Untuk wanita, tingkat bunuh diri tertinggi ditemukan di Korea Selatan yaitu 22 per 100.000, dengan tingkat yang tinggi secara umum di Asia Tenggara dan Pasifik Barat.[101]
Di banyak negara, tingkat bunuh diri tertinggi terjadi di usia paruh baya[106] atau usia lanjut.[58] Namun, jumlah mutlak bunuh diri terbesar terjadi pada mereka yang berusia antara 15 dan 29 tahun karena jumlah orang dalam kelompok usia tersebut.[101] Di Amerika Serikat, yang terbesar yaitu pada pria kaukasoid berusia lebih dari 80 tahun, meskipun orang muda lebih sering mencoba bunuh diri.[13] Ini merupakan penyebab kematian paling umum kedua untuk remaja[11] dan peringkat kedua setelah kematian karena kecelakaan pada pria muda.ref name=Pit2012/> Pada pria muda di negara maju, bunuh diri adalah penyebab dari hampir 30% kematian.[106] Di negara-negara berkembang, tingkatnya sama tetapi angka tersebut merupakan sebagian kecil kematian secara keseluruhan karena tingkat kematian yang lebih tinggi pada jenis trauma lainnya.[106] Di Asia Tenggara, berbeda dengan daerah lain di dunia, kematian akibat bunuh diri terjadi pada tingkat yang lebih besar pada wanita muda dibandingkan wanita usia lanjut.[101]
Dalam sejarah Athena kuno, orang yang melakukan bunuh diri tanpa persetujuan negara ditolak untuk dimakamkan secara wajar dengan penghormatan. Orang tersebut akan dimakamkan sendirian, di pinggiran kota, tanpa nisan atau tanda.[107] Dalam sejarah Yunani Kuno dan Roma bunuh diri itu dianggap metode yang dapat diterima saat mengalami kalah perang.[108] Di Roma kuno, bunuh diri pada awalnya diizinkan, tetapi kemudian hal tersebut dianggap sebagai kejahatan terhadap negara karena menimbulkan biaya.[109] Peraturan pidana yang dikeluarkan oleh Raja Louis XIV dari Prancis pada tahun 1670 jauh lebih berat hukumannya: tubuh orang yang meninggal diseret melintasi jalan-jalan, dalam kondisi tertelungkup, dan kemudian digantung atau dibuang di tumpukan sampah. Selain itu, semua harta orang tersebut disita.[110][111] Dalam sejarah gereja Kristen, orang yang mencoba bunuh diri dikucilkan dan mereka yang meninggal karena bunuh diri dimakamkan di luar kuburan suci.[112] Pada akhir abad ke-19 di Inggris, mencoba bunuh diri itu dianggap sama dengan percobaan pembunuhan dan bisa dihukum gantung.[112] Di Eropa pada abad ke-19, tindakan bunuh diri mengalami pergeseran pandangan dari sebelumnya sebagai tindakan akibat dosa menjadi akibat gila.[111]
Di sebagian besar negara-negara Barat, bunuh diri tidak lagi merupakan kejahatan,[113] tetapi masih dianggap demikian di sebagian besar negara-negara Eropa Barat mulai dari Abad Pertengahan sampai setidaknya tahun 1800-an.[114] Banyak negara Islam yang menetapkan bunuh diri sebagai tindak pidana.[48]
Di Australia, bunuh diri bukan merupakan tindak pidana.[115] Namun, menasihati, menghasut, atau membantu dan menghasut orang lain untuk mencoba bunuh diri merupakan tindak kejahatan, dan hukum secara eksplisit memungkinkan setiap orang untuk menggunakan "kekuatan yang sewajarnya diperlukan" untuk mencegah orang lain dari melakukan bunuh diri.[116] Wilayah Barat Australia sempat secara singkat memiliki hukum bunuh diri yang dibantu dokter mulai dari tahun 1996 sampai 1997.[117]
Tidak satu pun negara di Eropa saat ini yang menganggap bahwa bunuh diri atau percobaan bunuh diri adalah sebuah kejahatan.[112] Inggris dan Wales tidak menganggap lagi bunuh diri sebagai kejahatan melalui Suicide Act 1961 dan di Republik Irlandia pada tahun 1993.[112] Kata "commit" digunakan dalam referensi untuk itu menjadi ilegal namun banyak organisasi telah menghentikannya karena konotasi negatif.[118][119]
Di India, bunuh diri merupakan tindakan ilegal dan keluarga yang masih hidup mungkin akan menghadapi kesulitan hukum.[120] Di Jerman, eutanasia aktif merupakan tindakan ilegal dan siapa saja yang hadir selama berlangsungnya bunuh diri dapat dituntut karena gagal memberikan bantuan dalam keadaan darurat.[121] Swiss baru-baru ini mengambil langkah untuk melegalkan bunuh diri yang dibantu untuk sakit mental yang kronis. Pengadilan tinggi Lausanne, dalam putusannya tahun 2006, telah memberikan hak kepada seseorang tanpa nama yang memiliki gangguan kejiwaan yang lama untuk mengakhiri hidupnya sendiri.[122]
Di Amerika Serikat, bunuh diri tidak ilegal, tetapi mungkin dikaitkan dengan hukuman bagi orang yang mencobanya.[112] Bunuh diri yang dibantu dokter merupakan tindakan yang legal di negara bagian Oregon[123] dan Washington.[124]
Di sebagian besar bentuk kekristenan, bunuh diri dianggap dosa, didasarkan terutama pada tulisan-tulisan para pemikir Kristen berpengaruh dari Abad Pertengahan, seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas; tetapi bunuh diri tidak dianggap sebagai dosa oleh Codex Justinianus di Kekaisaran Romawi Timur.[125][126] Dalam Doktrin Katolik, argumen didasarkan pada perintah Tuhan "Tidak boleh membunuh" (diberlakukan dalam Perjanjian Baru oleh Yesus dalam Matius 19:18), serta pemikiran bahwa hidup adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan yang tidak boleh ditolak, dan bahwa bunuh diri merupakan tindakan melawan "hukum alam" sehingga mengganggu rencana utama Allah bagi dunia.[127]
Namun, diyakini bahwa penyakit mental atau rasa takut menderita yang besar mengurangi beban tanggung jawab seseorang terhadap tindakannya melakukan bunuh diri.[128] Argumen yang berlawanan di antaranya: bahwa perintah keenam secara lebih tepat diterjemahkan menjadi "jangan membunuh", belum tentu berlaku untuk diri sendiri, bahwa Tuhan telah memberikan kebebasan berkehendak kepada manusia; di mana seseorang yang mengakhiri hidupnya sendiri tidak lagi melanggar Hukum Tuhan lebih dari usaha untuk menyembuhkan penyakit; dan bahwa sejumlah kasus bunuh diri yang dilakukan oleh para pengikut Tuhan tercatat dalam Alkitab tanpa ada hukuman yang mengerikan.[129]
Yudaisme berfokus pada pentingnya menghargai hidup ini, dan dengan demikian, bunuh diri sama saja dengan mengingkari kebaikan Tuhan di dunia. Meskipun demikian, dalam keadaan yang ekstrem bila tampaknya tidak ada pilihan selain dibunuh atau dipaksa untuk mengkhianati agama mereka, orang-orang Yahudi melakukan bunuh diri individual atau bunuh diri massal (lihat Masada, Penyiksaan pertama terhadap orang Yahudi di Prancis, dan Kastil York misalnya) dan bahkan sebagai peringatan yang kelam terdapat doa dalam liturgi Yahudi yaitu "ketika pisau berada di tenggorokan", bagi mereka yang mati "untuk menguduskan Nama Tuhan" (lihat Martir). Tindakan ini menerima tanggapan beragam dari otoritas Yahudi, yang oleh sejumlah orang dianggap sebagai contoh kemartiran yang heroik, sementara yang lain menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang salah, yaitu mengakhiri hidup mereka sendiri justru saat akan menghadapi kemartiran.[130]
Bunuh diri tidak diperbolehkan dalam ajaran agama Islam.[48] Dalam ajaran agama Hindu, bunuh diri umumnya tidak disukai dan dianggap berdosa sama seperti membunuh orang lain dalam masyarakat kontemporer Hindu. Kitab Suci Agama Hindu menyatakan bahwa orang yang melakukan bunuh diri akan menjadi bagian dari dunia roh, bergentayangan di bumi sampai waktu di mana ia akan bertemu dengan orang yang tidak bunuh diri.[131] Namun, ajaran Hindu menerima hak untuk mengakhiri hidup seseorang melalui praktik non-kekerasan yaitu puasa sampai mati yang disebut dengan Prayopawesa.[132] Namun Prayopawesa secara ketat dibatasi terbatas bagi orang yang tidak lagi memiliki keinginan atau ambisi, dan tidak ada tanggung jawab yang tersisa dalam hidupnya.[132] Jainisme memiliki praktik yang serupa bernama Santhara. Sati, atau membakar diri yang dilakukan oleh seorang janda merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Hindu selama Abad Pertengahan.
Sejumlah pertanyaan diajukan dalam filosofi bunuh diri, termasuk apa yang termasuk dalam kategori bunuh diri, apakah bunuh diri bisa menjadi pilihan yang rasional atau tidak, dan kebolehan secara moral untuk bunuh diri.[133] Argumen filosofis terkait apakah bunuh diri bisa diterima secara moral atau tidak berkisar dari oposisi yang kuat, (melihat bunuh diri sebagai tindakan tidak etis dan tidak bermoral), hingga persepsi bahwa bunuh diri sebagai hak sakral bagi siapa saja (bahkan bagi orang yang masih muda dan sehat) yang merasa yakin bahwa mereka secara rasional dan sadar dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.
Para penentang bunuh diri termasuk para filsuf Kristen seperti Augustine of Hippo dan Thomas Aquinas,[133] Immanuel Kant[134] dan, boleh dibilang, John Stuart Mill – Fokus Mill tentang pentingnya kebebasan dan otonomi berarti bahwa ia menolak pilihan yang akan mencegah seseorang membuat keputusan otonom pada masa depan.[135] Orang lain melihat bunuh diri sebagai masalah pilihan pribadi yang sah-sah saja. Para pendukung posisi ini mempertahankan bahwa tidak ada yang harus dipaksa menderita dengan melawan keinginan mereka, terutama dari kondisi seperti penyakit yang tidak tersembuhkan, penyakit mental, dan usia tua yang sudah tidak mungkin lagi mengalami perbaikan. Mereka menolak keyakinan bahwa bunuh diri itu selalu irasional, dengan alasan bahwa tindakan itu dapat menjadi pilihan terakhir yang berlaku bagi mereka yang mengidap penyakit atau trauma berat yang berkepanjangan.[136] Pendirian yang lebih kuat berpendapat bahwa orang harus diperbolehkan untuk secara mandiri memilih mati terlepas apakah mereka sedang menderita atau tidak. Pendukung terkemuka untuk aliran pemikiran ini di antaranya pakar empiris Skotlandia David Hume[133] dan pakar bioetika Amerika Jacob Appel.[122][137]
Pembelaan atas tindakan bunuh diri terjadi di banyak kultur dan sub-kultur. Militer Jepang selama Perang Dunia II menyemangati dan memuliakan serangan kamikaze, yaitu serangan bunuh diri oleh penerbang militer Kekaisaran Jepang terhadap kapal angkatan laut Sekutu pada tahap penutupan kampanye Pasifik dalam Perang Dunia II. Masyarakat Jepang secara keseluruhan telah digambarkan bersikap "toleran" terhadap tindakan bunuh diri[139] (lihat Bunuh diri di Jepang).
Pencarian tentang bunuh diri lewat Internet menghasilkan bahwa 10-30% laman web berisikan dorongan atau fasilitasi untuk upaya bunuh diri. Ada sejumlah kekhawatiran bahwa situs-situs tersebut dapat mendorong orang-orang cenderung melakukannya. Sejumlah orang membentuk kelompok bunuh diri secara online, baik bersama teman yang sudah ada sebelumnya atau dengan orang yang baru dijumpai dalam ruang obrolan atau papan pesan. Meskipun demikian, Internet juga dapat membantu mencegah tindakan bunuh diri dengan menyediakan kelompok sosial bagi orang yang terisolasi.[140]
Beberapa tempat tertentu menjadi terkenal karena tingginya tingkat upaya bunuh diri.[141] Tempat-tempat tersebut di antaranya Jembatan Golden Gate di San Fransisco Amerika Serikat, Hutan Aokigahara di Jepang,[142] Beachy Head di Inggris,[141] dan Jembatan Bloor Street di Toronto Kanada.[143]
Sampai tahun 2010, Jembatan Golden Gate telah menjadi tempat lebih dari 1.300 tindakan bunuh diri dengan cara melompat semenjak jembatan tersebut dibangun pada tahun 1937.[144] Di lokasi-lokasi di mana sering kali terjadi peristiwa bunuh diri telah dibuatkan penghalang untuk mencegahnya.[145] Di antaranya Luminous Veil di Toronto, Kanada[143] dan penghalang pada Menara Eiffel di Paris, Prancis, serta Empire State Building di New York, Amerika Serikat.[145] Pada tahun 2011, sebuah penghalang sedang dibangun untuk Jembatan Golden Gate.[146] Penghalang tersebut secara umum terlihat sangat efektif.[146]
Mengingat tindakan bunuh diri memerlukan upaya yang dilakukan dengan sengaja agar mati, maka sejumlah orang merasa bahwa hal tersebut tidak dapat terjadi pada makhluk hidup selain manusia.[108] Perilaku bunuh diri telah diamati pada salmonella yang berusaha mengatasi bakteri pesaing dengan memicu respons sistem kekebalan tubuh yang membahayakan mereka sendiri.[147] Pertahanan bunuh diri oleh para pekerja juga terlihat pada semut Brasil Forelius pusillus di mana sekelompok kecil semut meninggalkan sarangnya yang aman setelah menyegel pintu masuk dari luar setiap malam hari.[148]
Kutu Pea, saat terancam oleh kepik, dapat meledakkan dirinya sendiri, berhamburan dan melindungi saudara-saudaranya dan bahkan terkadang ledakan tersebut akan membunuh kepik.[149] Beberapa spesies rayap memiliki pasukan yang meledak, yang menutupi musuh-musuhnya dengan perekat lengket.[150][151]
Ada laporan anekdotal tentang anjing, kuda dan lumba-lumba yang melakukan bunuh diri, meskipun buktinya sedikit.[152] Sedikit sekali studi ilmiah yang dilakukan pada binatang yang bunuh diri.[153]
Contoh bunuh diri massal yaitu bunuh diri sekte "Jonestown" pada tahun 1978, di mana 918 orang anggota Peoples Temple, sebuah sekte di Amerika yang dipimpin oleh Jim Jones, mengakhiri hidup mereka dengan minum anggur Flavor Aid yang dicampur dengan sianida.[154][155][156] Lebih dari 10.000 warga sipil Jepang melakukan bunuh diri pada hari-hari terakhir Pertempuran Saipan pada tahun 1944, sejumlah orang melompat ke dalam "Jurang Bunuh Diri" dan "Jurang Banzai".[157]
Aksi mogok makan 1981, yang dipimpin oleh Bobby Sands, menyebabkan 10 orang meninggal dunia. Penyebab kematian tersebut dicatat oleh petugas forensik sebagai "kelaparan, pemaksaan diri" alih-alih bunuh diri; penyebabnya telah dimodifikasi menjadi hanya "kelaparan" pada surat kematian setelah mendapat protes dari keluarga pengunjuk rasa yang mati.[158] Erwin Rommel selama Perang Dunia II diketahui menyembunyikan rahasia tentang Plot 20 Juli terkait kehidupan Hitler dan diancam dengan pengadilan publik, hukuman mati dan balas dendam terhadap keluarganya kecuali jika ia mengakhiri hidupnya sendiri.[159]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gol bunuh diri (bahasa Inggris: own goal) adalah istilah dalam olahraga sepak bola ketika seorang pemain memasukkan bola ke gawangnya sendiri sehingga dianggap sebagai gol bagi tim lawan. Pemain tersebut juga dianggap sebagai pencetak golnya. Apabila gol tersebut diakibatkan oleh pantulan, maka pencetak gol dilihat jika tendangan yang menghasilkan gol tersebut adalah tendangan langsung ke arah gawang atau tidak. Jika ternyata merupakan tendangan langsung ke gawang, maka pemain yang menendang tersebut dinyatakan sebagai pencetak gol.
Gol bunuh diri terkenal terjadi di Piala Dunia 1994 saat pertandingan tuan rumah Amerika Serikat melawan Kolombia yang dicetak oleh Andres Escobar. Hal ini mengakibatkan tim nasional Kolombia kalah 1-2 serta yang tragisnya, memicu sebuah pembunuhan oleh supporter bernama Humberto Castro Muñoz terhadap Andres.
Contoh gol bunuh diri lainnya adalah gol bunuh diri yang terjadi di Piala Dunia 2014 saat pertandingan tuan rumah Brasil melawan Kroasia. Brasil sempat tertinggal lebih dulu akibat gol bunuh diri yang dibuat oleh Marcelo Vieira. Hal ini mengakibatkan Kroasia unggul 0-1 pada babak pertama. Namun pada babak kedua, Brasil berhasil unggul atas Kroasia dengan skor 3-1.
Adapun contoh gol bunuh diri terkenal lainnya adalah gol bunuh diri yang terjadi di babak penyisihan grup A Piala Tiger 1998 (sekarang berganti nama jadi Piala Suzuki AFF) saat pertandingan Indonesia melawan Thailand. Kedua tim berusaha untuk menjadi runner up grup A pada penyisihan grup Piala Tiger 1998 untuk menghindari timnas Vietnam pada babak gugur Piala Tiger 1998. Kala itu skor masih imbang 2-2. Pada menit ke 90, Mursyid Effendi sengaja memasukan bola ke gawangnya sendiri sehingga membuat timnas Indonesia kalah dari Thailand 3-2. Atas hal tersebut, Thailand menjadi juara grup A Piala Tiger 1998.
Gol bunuh diri tidak bisa diterima jika dihasilkan dari lemparan ke dalam atau dari tendangan bebas.
Pemain bertahan Denmark, Simon Kjaer (kiri), salah mengantisipasi bola sehingga menyebabkan gol bunuh diri saat bertanding melawan Inggris. Gol di menit ke-39 tersebut membuat kedudukan berubah menjadi satu sama.
Saban ada kejuaraan besar sepak bola, pikiran saya resah dengan istilah “gol bunuh diri” dari mulut penyiar televisi maupun tangan wartawan surat kabar. Mengapa istilah “bunuh diri” digunakan untuk menyebut gol dari seorang pemain gagal menghalau bola agar tidak masuk ke gawang timnya?
Sulit menerima bahwa kapten kesebelasan Denmark, Simon Kjaer, “bunuh diri” ketika mati-matian ingin menyelamatkan gawangnya dari bola umpan deras Bukayo Saka yang akan disergap Raheem Sterling dalam semifinal Piala Eropa, 8 Juli 2021. Usaha mati-matian Simon Kjaer tak berhasil. Bola yang dihalau justru masuk ke gawangnya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunuh diri berarti ‘sengaja mematikan diri sendiri’. Kesengajaan adalah faktor terpenting dalam tindak bunuh diri. Bila tak ada kesengajaan, sebuah tindakan tak bisa disebut bunuh diri. Sangat jelas bahwa dalam gol-gol Piala Eropa 2020 yang disebut “gol bunuh diri” itu sama sekali tak ada unsur sengaja dari Kjaer, Dubravka, Merih Demiral, Mats Hummmel, Raphael Guerreiro, Ruben Dias, Pedri, Denis Zakaria, Juraj Kucka, Wojciech Szczesny, dan Lukas Hradecky untuk memasukkan bola ke gawang mereka. Tak tepat menyebutnya “gol bunuh diri”.
Usul saya istilah “gol bunuh diri” tidak dipakai untuk menyebut gol-gol seperti di atas. Dicari saja istilah yang tepat, misalnya “gol sendiri” (own goal) seperti digunakan dalam bahasa Inggris. Di samping itu, seyogianya istilah “bunuh diri” sesedikit mungkin digunakan dalam ujaran karena tindakan bunuh diri memang dilarang secara moral. Semakin jarang digunakan di dalam ujaran, diharapkan tindakan bunuh diri juga tak akan muncul dalam khayalan dan pikiran orang.
Tambahan pula, menggunakan istilah “gol bunuh diri” akan mengingatkan dosa lama persepakbolaan Indonesia yang pernah dinodai oleh gol-gol yang sungguh-sungguh “bunuh diri” karena para pemain dengan sengaja memasukkan bola ke gawang tim mereka sendiri. Dalam pertandingan “sepak bola gajah” antara PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014, lima gol disarangkan oleh pemain PSS Sleman dan PSIS Semarang ke gawang mereka sendiri. Akibatnya PSSI diganjar hukuman oleh FIFA berupa larangan menyelenggarakan kompetisi dalam kurun 2015 – 2016.
Lebih memalukan lagi kasus Piala Tiger 1998 pada pertandingan Indonesia melawan Thailand. Demi mengejar posisi juara kedua untuk menghindari pertandingan melawan tim Vietnam, pemain Indonesia, Mursyid Effendi, sengaja memasukkan bola ke gawang Indonesia sendiri, sementara pemain Indonesia lainnya, Kurnia Sandi, diam saja dan tak berusaha menyelamatkan gawangnya. Mursyid Effendi diganjar larangan bermain seumur hidup dan denda uang.
Semoga dengan mengganti istilah “gol bunuh diri,” tindakan tercela melakukan “gol bunuh diri” yang mencederai sportivitas dalam sepak bola juga hilang. Begitu pula tindakan bunuh diri yang dilarang secara moral itu.
AROSUKA, RADARSUMBAR.COM - Warga Jorong Taratak Galundi, Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) digegerkan dengan ...